Psikologi Tindak Terorisme
Mendengar kata terorisme, mungkin kita terbayang dengan bom, pembunuhan, Dr Azhari, Osama bin Laden atau juga ada Amerika. Definisi terorisme sendiri belum ada keseragaman yang dapat diterima secara universal. Negara adidaya sekelas Amerika saja belum mampu merumuskan secara konseptual definisi terorisme, begitu juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada tahun 1972 membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism, yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi terorisme.
Ketidakmampuan Amerika atau PBB merumuskan definisi terorisme tidak lepas dari setiap rumusan konseptual terorisme yang dihasilkan selalu mengarah atau mencap kepada dirinya sendiri sebagai teroris, padahal selama ini negara adidaya ini yang menunjuk pihak lain sebagai teroris. Sebagai contoh ciri-ciri terorisme adalah menakut-nakuti, menghancurkan infra struktur, mempengaruhi kebijakan pemerintah dan menimbulkan korban yang tak berdosa. Kalau ciri-ciri ini dicocokkan dengan apa yang dilakukan Amerika di Irak dan Afganistan sangat cocok sekali. Jadi sangatlah logis bila Amerika atau PBB (yang banyak didikte oleh Amerika) belum bisa menghasilkan rumusan konseptual terorisme.Walaupun begitu tidak sedikit juga kelompok atau perorangan yang mampu mendefisikan terorisme.
Permusuhan antara teroris melawan anti teror, secara garis besar dibagi dalam dua kelompok teroris. Pertama, Teroris kuat, dalam hal ini negara adidaya, yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya atau atas nama kemanusian merasa berhak untuk menghancurkan lawan. Contoh Amerika di Afganistan dan Irak dan Israel di Palestina, dalam perspektip ini adalah negara sebagai teroris, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara. Kedua, Teroris Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa berhak untuk membela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki. Contohnya, Dr. Azhari cs di Indonesia, kelompok IRA di Irlandia, kelompok ETA di propinsi Basque (Spanyol), Gerilyawan Zapatista, Palestina (Hamas) di daerah pendudukan Israel, gerilyawan NPA di Philipina, Macan Tamil di Srilanka. Yang paling terkenal saat ini karena mempunyai jaringan luas secara global dan mempunyai akses ke berbagai kelompok teroris atau kelompok radikal militan dan dengan dukungan dana yang besar adalah organisasi AI Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Organisasi ini mempunyai infrastruktur operasional dan infrastruktur pendukung.
Aspek psikologis yang mendorong melakukan tindak terorisme adalah Pertama, perasaan tertindas dan dizolimi. Perasaan ini yang mendorong pelaku teror untuk melakukan perlawanan walaupun kadang menghalalkan segala cara. Dalam konteks global, terorisme yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia hanyalah limbah dari efek politik ganda yang dilakukan negara kuat terhadap negara lemah. Kasus politik standar ganda yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Israel dan Palestina, dilanjutkan penyerangan ke Irak dengan alasan senjata massal yang tak terbukti, adalah sebagian fakta nyata yang memicu sebagian kelompok yang tertindas untuk melakukan aksi teror. Penyebutan Amerika dan Inggris beserta para pembantunya (Australia, Spanyol) oleh Amrozi cs merupakan argumentasi obyektif para teroris.
Begitu juga dengan Amerika Serikat dengan dalih kepentingan nasionalnya atau rasa kemanusian telah dizolimi, ia merasa perlu ikut campur dalam urusan negara lain. Contoh Bush presiden Amerika Serikat menganggap Sadam Husein presiden Irak telah berbuat zolim pada rakyat Irak, kuwait dan membahayakan perdamaian dunia sehingga merasa perlu untuk melakukan agresi kepada pemerintahan Sadam Husein.
Aksi teror bisa dilakukan oleh korban yang menderita langsung, bisa juga oleh kelompok yang bersimpati karena merasa ikut menjadi bagian dari kelompok itu, dengan persamaan nasib dan tujuan sebagai alasan mereka. Rasa simpati itu kemudian berproses menjadi empati, dimana penderitaan kelompok tertindas adalah penderitaan mereka juga. Kelompok yang berempati inilah yang kemudian menjelma menjadi organisasi yang rapi dalam melakukan perlawanan dan aksi terorisme.
Kedua, Pemahaman agama atau Ideologi yang belum utuh. Pemahaman yang salah tentang makna jihad dan syahid. Jihad diartikan sebatas jihad fisik dengan mengangkat senjata.Syahid diartikan dengan mati dalam melawan Amerika, baik mati dengan bom bunuh diri atau mati ditangan musuh. Pemahaman ini yang tertanam didalam sanubari, sehingga perlawanan ini, mereka anggap sebagai “perang suci” dan bila gugur akan masuk surga. Surga merupakan obat pelipur lara bagi mereka yang selama ini mengalami penindasan dan ketidakadilan. Dengan pemahanan jihad dan syahid seperti ini tidak mengherankan bila Amrozi tersenyum saat divonis mati oleh pengadilan dan Imam Samudra bertakbir “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) dengan lantang dan gagah berani layaknya seorang pahlawan maju ke medan perang.
Dari dua faktor pendorong teroris melakukan teror diatas yaitu, rasa tertindas dan pemahaman agama atau ideologi yang belum sempurna. Seseorang bisa disebut sebagai teroris oleh sebagian masyarakat tetapi ia bisa disebut pahlawan oleh sebagian masyarakat yang lain. Contohnya, Osama Bin Laden disebut teroris oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, tetapi ia disebut pahlawan oleh sebagian masyarakat Arab yang selama ini merasa ditindas oleh Amerika dan sekutunya.
Penangkapan lalu divonis hukum mati atau pembunuhan terhadap pelaku terorisme bukan jaminan untuk menghilangkan terorisme, bahkan bisa jadi semakin besar teror yang akan dilakukan oleh kadernya yang lain. Karena penanganan ini tidak mengena pada akar permasalahan. Cara yang efektif untuk menangani terorisme ini dengan pendekatan agama dan psikologi yang disesuaikan dengan agama dan psikologis pelaku teror, contoh pendekatan yang tepat kepada Amrozi cs adalah Islamic Indigenous Psychology, yaitu psikologi islam yang disesuaikan dengan budaya keislaman di Indonesia. Dan tentunya dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh dunia internasional untuk menegakkan keadilan global.
Mendengar kata terorisme, mungkin kita terbayang dengan bom, pembunuhan, Dr Azhari, Osama bin Laden atau juga ada Amerika. Definisi terorisme sendiri belum ada keseragaman yang dapat diterima secara universal. Negara adidaya sekelas Amerika saja belum mampu merumuskan secara konseptual definisi terorisme, begitu juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada tahun 1972 membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism, yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi terorisme.
Ketidakmampuan Amerika atau PBB merumuskan definisi terorisme tidak lepas dari setiap rumusan konseptual terorisme yang dihasilkan selalu mengarah atau mencap kepada dirinya sendiri sebagai teroris, padahal selama ini negara adidaya ini yang menunjuk pihak lain sebagai teroris. Sebagai contoh ciri-ciri terorisme adalah menakut-nakuti, menghancurkan infra struktur, mempengaruhi kebijakan pemerintah dan menimbulkan korban yang tak berdosa. Kalau ciri-ciri ini dicocokkan dengan apa yang dilakukan Amerika di Irak dan Afganistan sangat cocok sekali. Jadi sangatlah logis bila Amerika atau PBB (yang banyak didikte oleh Amerika) belum bisa menghasilkan rumusan konseptual terorisme.Walaupun begitu tidak sedikit juga kelompok atau perorangan yang mampu mendefisikan terorisme.
Permusuhan antara teroris melawan anti teror, secara garis besar dibagi dalam dua kelompok teroris. Pertama, Teroris kuat, dalam hal ini negara adidaya, yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya atau atas nama kemanusian merasa berhak untuk menghancurkan lawan. Contoh Amerika di Afganistan dan Irak dan Israel di Palestina, dalam perspektip ini adalah negara sebagai teroris, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara. Kedua, Teroris Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa berhak untuk membela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki. Contohnya, Dr. Azhari cs di Indonesia, kelompok IRA di Irlandia, kelompok ETA di propinsi Basque (Spanyol), Gerilyawan Zapatista, Palestina (Hamas) di daerah pendudukan Israel, gerilyawan NPA di Philipina, Macan Tamil di Srilanka. Yang paling terkenal saat ini karena mempunyai jaringan luas secara global dan mempunyai akses ke berbagai kelompok teroris atau kelompok radikal militan dan dengan dukungan dana yang besar adalah organisasi AI Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Organisasi ini mempunyai infrastruktur operasional dan infrastruktur pendukung.
Aspek psikologis yang mendorong melakukan tindak terorisme adalah Pertama, perasaan tertindas dan dizolimi. Perasaan ini yang mendorong pelaku teror untuk melakukan perlawanan walaupun kadang menghalalkan segala cara. Dalam konteks global, terorisme yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia hanyalah limbah dari efek politik ganda yang dilakukan negara kuat terhadap negara lemah. Kasus politik standar ganda yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Israel dan Palestina, dilanjutkan penyerangan ke Irak dengan alasan senjata massal yang tak terbukti, adalah sebagian fakta nyata yang memicu sebagian kelompok yang tertindas untuk melakukan aksi teror. Penyebutan Amerika dan Inggris beserta para pembantunya (Australia, Spanyol) oleh Amrozi cs merupakan argumentasi obyektif para teroris.
Begitu juga dengan Amerika Serikat dengan dalih kepentingan nasionalnya atau rasa kemanusian telah dizolimi, ia merasa perlu ikut campur dalam urusan negara lain. Contoh Bush presiden Amerika Serikat menganggap Sadam Husein presiden Irak telah berbuat zolim pada rakyat Irak, kuwait dan membahayakan perdamaian dunia sehingga merasa perlu untuk melakukan agresi kepada pemerintahan Sadam Husein.
Aksi teror bisa dilakukan oleh korban yang menderita langsung, bisa juga oleh kelompok yang bersimpati karena merasa ikut menjadi bagian dari kelompok itu, dengan persamaan nasib dan tujuan sebagai alasan mereka. Rasa simpati itu kemudian berproses menjadi empati, dimana penderitaan kelompok tertindas adalah penderitaan mereka juga. Kelompok yang berempati inilah yang kemudian menjelma menjadi organisasi yang rapi dalam melakukan perlawanan dan aksi terorisme.
Kedua, Pemahaman agama atau Ideologi yang belum utuh. Pemahaman yang salah tentang makna jihad dan syahid. Jihad diartikan sebatas jihad fisik dengan mengangkat senjata.Syahid diartikan dengan mati dalam melawan Amerika, baik mati dengan bom bunuh diri atau mati ditangan musuh. Pemahaman ini yang tertanam didalam sanubari, sehingga perlawanan ini, mereka anggap sebagai “perang suci” dan bila gugur akan masuk surga. Surga merupakan obat pelipur lara bagi mereka yang selama ini mengalami penindasan dan ketidakadilan. Dengan pemahanan jihad dan syahid seperti ini tidak mengherankan bila Amrozi tersenyum saat divonis mati oleh pengadilan dan Imam Samudra bertakbir “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) dengan lantang dan gagah berani layaknya seorang pahlawan maju ke medan perang.
Dari dua faktor pendorong teroris melakukan teror diatas yaitu, rasa tertindas dan pemahaman agama atau ideologi yang belum sempurna. Seseorang bisa disebut sebagai teroris oleh sebagian masyarakat tetapi ia bisa disebut pahlawan oleh sebagian masyarakat yang lain. Contohnya, Osama Bin Laden disebut teroris oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, tetapi ia disebut pahlawan oleh sebagian masyarakat Arab yang selama ini merasa ditindas oleh Amerika dan sekutunya.
Penangkapan lalu divonis hukum mati atau pembunuhan terhadap pelaku terorisme bukan jaminan untuk menghilangkan terorisme, bahkan bisa jadi semakin besar teror yang akan dilakukan oleh kadernya yang lain. Karena penanganan ini tidak mengena pada akar permasalahan. Cara yang efektif untuk menangani terorisme ini dengan pendekatan agama dan psikologi yang disesuaikan dengan agama dan psikologis pelaku teror, contoh pendekatan yang tepat kepada Amrozi cs adalah Islamic Indigenous Psychology, yaitu psikologi islam yang disesuaikan dengan budaya keislaman di Indonesia. Dan tentunya dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh dunia internasional untuk menegakkan keadilan global.
No comments:
Post a Comment